< BERANDA

7 Miskonsepsi Pembelajaran Online

E-LEARNING


Merebaknya pembelajaran online akhir-akhir ini menimbulkan pemahaman dan persepsi yang beragam mengenai apa sebenarnya pembelajaran berbasis teknologi informasi ini serta bagaimana efektifitasnya. Ada beberapa miskonsepsi banyak orang terkait pembelajaran online yang selama ini mungkin diyakini dan dipersepsikan.

1.    Pembelajaran online lebih mudah diikuti. Pembelajaran online memang terlihat mudah, kita cukup duduk di belakang komputer, tak perlu pergi kemana-mana, dapat belajar kapan saja kita mau, tak perlu memikirkan pernik-pernik formal (misalnya jadwal ketat, harus ke kampus, berpakaian rapi dll). Faktanya, pembelajaran online relatif lebih kompleks. Banyak tugas-tugas mandiri yang harus dikerjakan, bahkan mungkin lebih banyak daripada tatapmuka. Ini dapat diperparah jika pemelajar tidak memiliki disiplin diri yang ketat. Pemelajar cenderung tidak fokus dan terdistraksi oleh karena pembelajaran biasanya dilakukan setelah atau di sela-sela  aktivitas sehari-hari. Ketiadaan guru/instruktur dan rekan belajar secara fisik juga dapat menimbulkan perasaan sendiri yang berakibat pada turunnya motivasi bahkan frustasi serta disorientasi.

2.    Pembelajaran online minim interaksi. Dalam pembelajaran online memang ada persepsi bahwa pemelajar lebih banyak berhadapan dengan konten/materi pembelajaran dan minim atau malah tidak ada interaksi dengan guru/instruktur atau sesama pemelajar. Faktanya tidak selalu demikian. Pembelajaran online yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik justru dapat memunculkan interaksi yang dinamis (meski dalam situasi virtual). Diskusi secara online terkadang memberikan pengalaman dalam pemahaman yang lebih mendalam mengingat diskusi online memberikan kesempatan reflektif. Mereka yang biasanya lebih banyak diam dalam diskusi tatap muka, biasanya akan cenderung lebih terbuka dan lebih aktif. Lebih dari itu, pemelajar di lingkungan online akan membangun lifelong-connection, dimana meskipun kelas sudah selesai, mereka masih terhubung di jejaring.

3.    Pembelajaran online kurang efektif dan kurang menarik dibanding pembelajaran tatapmuka konvensional. Banyak anggapan bahwa pembelajaran online cenderung kurang efektif, ‘hambar’ dan membosankan karena pemelajar hanya berhadapan dengan mesin yang tidak manusiawi. Kenyataannya, pembelajaran online yang dirancang dengan baik justru memberikan pengalaman yang sangat berbeda, baik dalam mengakses konten pembelajaran maupun pola-pola interaksi. Banyak pemelajar yang merasakan bahwa pembelajaran online memiliki kesempatan pengalaman belajar yang lebih kaya dan kesempatan berbagi dan berkolaborasi secara lebih luas dan memunculkan trigger untuk ingin belajar lebih banyak lagi.

4.    Kecurangan di pembelajaran online lebih mudah dilakukan. Dalam pembelajaran online yang melulu berdasarkan mekanisme grading yang kaku, kecurangan memang  lebih mudah. Misalnya ketika menjawab soal multiple choice atau tugas-tugas tertentu, bisa saja pemelajar tidak melakukan sendiri, bisa dibantu orang lain atau malah mengunakan joki. Faktanya, ini tidak selalu benar. Dalam pembelajaran online yang baik, tujuan pembelajaran bukan sekedar grade atau kelulusan, melainkan kompetensi. Sehingga, jika hal ini yang ditekankan pada pemelajar, motivasi utama mereka tak lagi sekedar sertifikat atau nilai, tapi komitmen untuk meningkatkan kompetensi. Selain itu, mekanisme penilaian yang menekankan pada keaktifan dan bukan sekedar menjawab soal akan mengurangi kemungkinan curang.

5.    Pemelajar harus memiliki kemampuan teknologi yang canggih. Memang dalam pembelajaran online dibutuhkan kemampuan minimal dalam penguasaan teknologi, namun bukan kemampuan teknologi yang rumit. Faktanya banyak pemelajar yang tidak memiliki kemampuan teknologi yang canggih, tetap mampu mengikuti proses pembelajaran apalagi jika penyelenggara menyediakan mekanisme pendampingan teknis yang memadai. Justru tantangan yang lebih sulit bukan pada kemampuan teknis namun kemampuan manajemen belajar.

6.    Semua orang dapat sukses dalam pembelajaran online. Meskipun tren dimana-mana mengunggulkan dan mendorong semua orang untuk menerapkan pembelajaran online dengan asumsi bahwa semua orang akan sama-sama sukses dalam pembelajaran online, fakta sesungguhnya adalah: tidak semua orang cocok dengan pembelajaran online. Faktornya sangat banyak, misalnya ketersediaan sarana dan prasarana, kultur belajar mengajar, karakteristik guru maupun pemelajar, dll. Memaksakan pembelajaran online pada pemelajar yang tidak siap, justru akan membuat frustasi dan persepsi yang negatif. Transformasi ke pembelajaran baru memang harus selalu didorong, namun harus melalui proses yang membutuhkan kesabaran.

7.    Pembelajaran online lebih efisien. Efisiensi, dalam hal ini, dapat diukur dari paling tidak dua hal, efisiensi biaya dan efisiensi  pembelajaran. Dari sisi biaya dapat dibandingkan jika mengikuti pembelajaran tatap muka tentu lebih mahal (misalnya biaya administrasi, tansportasi, dll). Dari sisi pembelajaran, terutama waktu, beberapa penelitian menemukan bahwa pembelajaran online membutuhkan kira-kira dua kali lipat waktu untuk menuntaskan pembelajaran dengan target yang sama jika dibandingkan dengan pembelajaran tatapmuka. Artinya jika suatu kompetensi dapat dikuasai pemelajar dalam waktu 2 jam dalam pembelajaran tatapmuka, kompetensi yang sama akan membutuhkan kira-kira 4 jam dalam pembelajaran online.

Demikian, beberapa miskonsepsi yang mungkin selama ini disalahpahami sebagian orang tentang pembelajaran online. Bagi yang sudah terbiasa dengan pembelajaran online tentu akan lebih paham bahwa beberapa persepsi atau anggapan yang selama ini diyakini sebagian orang itu tidak selalu sepenuhnya benar.

(Muh. Tamimuddin)

Ada beberapa pandangan dan persepsi tentang pembelajaran online, dimana beberapa hal tidak sepenuhnya benar
Tags: e-learning . miskonsepsi
Avatar

Muh Tamim

Praktisi Pendidikan. Widyaiswara KEMDIKBUD


Berikut >

Artikel lebih baru


Berlangganan artikel

Dapatkan artikel kami langsung di pesan WA Anda!